Sebagai
seni dan media ekspresi, perkembangan musik menemui berbagai macam aliran atau
genre. Salah satunya adalah musik Noise yang mulai berkembang sejak
periode awal tahun 1900-an. Berdasarkan kamus Oxford, kata ‘Noise’
didefenisikan sebagai bunyi yang bervolume tinggi sehingga membuat orang yang
mendengarkannya menjadi tidak nyaman. Dari pengertian itu, kita dapat membayangkan
eksperimen permainan musik Noise yang ‘ugal-ugalan’ dengan frekuensi
bunyi-bunyian bising sesuai dengan keinginan dari pemusiknya.
Melalui
tulisan The Art of Noise, Luigi Russolo memperkenalkan ide Noise
pada tahun 1913 kepada Francesco Balilla Pratella yang merupakan seorang musikolog
asal Italia. Dalam perkembangannya, tulisan Russolo kemudian memberikan
pandangan yang berbeda tentang penciptaan musik dan cara pengekspresiannya yang
sesuai dengan kondisi realitas.
Kelahiran
musik Noise juga tidak terlepas dari gerakan kelompok-kelompok seniman
yang tidak puas atas perubahan kondisi yang diakibatkan oleh Perang Dunia.
Diantaranya, gerakan dari aliran seni Dada yang menilai bahwa kondisi sosial
dan politik, tidak dapat dipisahkan dari aktivitas seni. Oleh karena itu, karya
seni yang ditawarkan aliran Dadaisme cenderung bersifat sinis, aneh, sarat akan
emosi, dan sikap penolakan atas kaidah-kaidah seni tradisional atau dengan kata
lain, mereka menawarkan suatu konsep anti-seni (Hopkins, 2004).
Sejak
saat itu, musik tidak lagi hanya tentang komersil, estetika, dan formasi
bunyi-bunyian yang harmoni. Tapi juga bertransformasi menjadi media penyaluran
ekspresi yang memberikan kritik sosial serta wahana pembentukan budaya
perlawanan atas ketidapuasan dari kondsi realitas yang ada.
Di
Indonesia sendiri, sejumlah hasil penelitian terkait budaya musik populer,
menunjukkan transformasi yang serupa. Kritik terhadap realitas sosial ataupun
yang ditujukan kepada pemerintah berhasil diartikulasikan dalam musik dan
lirik-lirik yang menohok para pendengarnya. Penelitian berjudul “Bandung Lautan
Hardcore: Territorialisation and Deterritorialisation in An Indonesia Hardcore
Punk Scene” yang ditulis oleh Martin Iverson (2014) memotret perlawanan dari
para pegiat dan penikmat musik Underground di Bandung atas perubahan sistem
ekonomi Indonesia yang menjadi liberal di era kepemimpinan Presiden Soeharto.
Dari
penelitian Iverson, pembaca akan disuguhkan pada kritik yang diekspresikan
mulai dari kemandirian produksi, model distribusi, musik, lirik, hingga gaya
berpakaian. Fenomena Undergound di Bandung, menjadi salah satu representasi
yang mengajarkan betapa lekatnya musik dan dan budaya perlawanan.
Selain
itu, terdapat penelitian yang berjudul “Kririk Sosial dalam Lagu Orkes Moral
Pancaran Sinar Petromaks Tahun 1978-1982” karya Putra (2015). Dalam tulisannya,
Putra menjelaskan kritik yang dituangkan dalam lirik-lirik lagu grup Pancaran
Sinar Petromaks tentang kondisi masyarakat di zaman Orde Baru. Tidak hanya pada
ranah politik, grup Pancaran Sinar Petromaks juga mengkritik kehidupan
mahasiswa, perkembangan budaya, kesenjangan sosial yang terjadi, serta
pembangunan yang tidak merata pada periode itu.
Di era
kekinian, kritik dan perlawanan dengan memanfaatkan musik sebagai mediumnya
semakin menggurita di Indonesia. Berikut beberapa lagu pilihan dari
musisi-musisi dalam negeri yang menjadi rekomendasi untuk kalian dengarkan.
1.
Bars of Death – ‘Tak Ada Garuda di Dadaku’
‘Tak Ada
Garuda di Dadaku’ adalah salah satu lagu dari album Morbid Funk yang dirilis
oleh Bars of Death pada tahun 2020 lalu. Herry Sutresna dan Aszy Syamfizie selaku
penulis dan komposernya, meramu literatur bangsa dengan kritik tajam yang
seolah-olah mengisyaratkan kepada para pendengar untuk bergerak membangun
budaya tempur rakyat. Perspektif yang berbeda dari kombinasi musik rap, beat
yang menggugah, serta rima provokatif yang penuh dengan luapan emosi dalam
nuansa militeristik akan membuat hati dan kuping para pendengarnya semakin
panas.
Link: https://www.youtube.com/watch?v=ATfWgl4kqfU
2.
Scared of Bums – ‘Kepalkan Tangan Kiri’ Ft. Uncle Bob
(Superman Is Dead)
Scared
of Bums merupakan band asal Bali yang mengusung genre Metal Melodic Core.
Melaui single ‘Kepalkan Tangan Kiri’ yang kemudian masuk ke dalam album Let’s
Turn on a Fire, mereka menerjemahkan semangat perlawanan bagi para pejuang dari
kelompok tertindas, kaum marjinal, dan orang-orang yang dirampas haknya dalam karya
lagu yang berdurasi 5 menit 4 detik itu (Official Video). Mereka menggait Uncle
Bob (Vocal/guitar Superman Is Dead) dengan vocal yang khas, menambah kesan
heroik yang membuat jiwa para pendengarnya menyala.
Link: https://www.youtube.com/watch?v=4aHAMYwEP5g
3.
Morgue Vanguard – ‘Kontra Muerta’
Morgue
Vanguard adalah project lain yang dikerjakan oleh kang Ucok A.k.a Herry
Sutresna. Berbagai project dikerjakannya setelah redupnya Homicide dari
belantara musik Underground yang kemudian membuatnya berkolaborasi dengan
sejumlah musisi tanah air. Namun, kemunculan Morgue Vanguard kembali
membangkitkan libido perang bagi para combatan yang rindu akan rima perlawanan sebagaimana
yang disuguhkan kang Ucok saat berada di Homicide. Rilis tahun 2019, ‘Kontra
Muerta’ menjadi single dengan flow yang segar akan membuat para pendengarnya
merasa beruntung pernah mendengar karya segila itu.
Link: https://www.youtube.com/watch?v=-rsDaH9FOi8
4.
Efek Rumah Kaca – ‘Efek Rumah Kaca’
Karya
selanjutnya datang dari sekumpulan bapak-bapak keren yang tergabung dalam grup
band Efek Rumah Kaca. Bagi mereka yang terbiasa dengan playlist musik indie,
pasti menjadikan grup band satu ini sebagai salah satu kiblat musik. Nama band yang sama, dari album dan judul yang
sama, memberikan dimensi yang berbeda dari lagu yang diberi judul ‘Efek Rumah
Kaca’. Sebagaimana efek rumah kaca diketahui adalah isu lingkungan yang
mengancam keberadaan manusia dan telah menjadi masalah bersama ditingkat
global, lagu ‘Efek Rumah Kaca’ menjadi kritik terkait cara manusia
memperlakukan alam. Pesan itu disampaikan dari pemilihan diksi disetiap
liriknya yang akan mengantarkan para pendengar pada level kesadaran yang
berbeda tentang lingkungan dan alam semesta.
Link: https://www.youtube.com/watch?v=bpTYx2m2sjs
5.
Thufail Al Ghifari – ‘Democrazy’
Al
Ghifari adalah salah satu musisi rap underrated di Indonesia. Karya-karyanya
tersegmentasi hanya dibeberapa kalangan. Hal itu bisa jadi karena rima dari
setiap karyanya yang memberikan kesan religiusitas yang keras dari ajaran agama
tertentu. Sehingga, tidak mudah untuk dinikmati ditemapat-tempat umum. Tapi
terlepas dari semua itu, melalui lagu yang berjudul ‘Democrazy’, Al Ghifari
menyalurkan kejengkelannya dalam ambience hip-hop yang kental dengan lirik
cepat, padat, dan berat. Pendengarnya dapat membayangkan bagaimana Al Ghifari
sedang mengejek penguasa, para elit politik, ekonomi, dan korporasi dari level
nasional hingga internasional di lagu tersebut.
Link: https://www.youtube.com/watch?v=C6SXDv0kwt4
Referensi
Hopkins, D. (2004). Dada and
Surrealism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press Inc.
Martin-Iverson, S. (2014).
Bandung Lautan Hardcore: Territorialisation and Deterritorialisation in An
Indonesian Hardcore Punk Scene. Inter-Asia Cultural Studies.
Putra, R. P. (2015). Kritik
Sosial Dalam Lagu 52 UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Utomo, Musik
Noise: Sebuah Seni, Ekspresi, dan Perlawanan Orkes Moral Pancaran Sinar
Petromaks Tahun 1978-1982. Avatara : E-Journal Pendidikan Sejarah
0 komentar:
Posting Komentar