Jumat, 15 Maret 2024

Buka Suara; Musik dan Pembentukan Budaya Perlawanan

 

Pinrang Indie

Sebagai seni dan media ekspresi, perkembangan musik menemui berbagai macam aliran atau genre. Salah satunya adalah musik Noise yang mulai berkembang sejak periode awal tahun 1900-an. Berdasarkan kamus Oxford, kata ‘Noise’ didefenisikan sebagai bunyi yang bervolume tinggi sehingga membuat orang yang mendengarkannya menjadi tidak nyaman. Dari pengertian itu, kita dapat membayangkan eksperimen permainan musik Noise yang ‘ugal-ugalan’ dengan frekuensi bunyi-bunyian bising sesuai dengan keinginan dari pemusiknya.

Melalui tulisan The Art of Noise, Luigi Russolo memperkenalkan ide Noise pada tahun 1913 kepada Francesco Balilla Pratella yang merupakan seorang musikolog asal Italia. Dalam perkembangannya, tulisan Russolo kemudian memberikan pandangan yang berbeda tentang penciptaan musik dan cara pengekspresiannya yang sesuai dengan kondisi realitas.

Kelahiran musik Noise juga tidak terlepas dari gerakan kelompok-kelompok seniman yang tidak puas atas perubahan kondisi yang diakibatkan oleh Perang Dunia. Diantaranya, gerakan dari aliran seni Dada yang menilai bahwa kondisi sosial dan politik, tidak dapat dipisahkan dari aktivitas seni. Oleh karena itu, karya seni yang ditawarkan aliran Dadaisme cenderung bersifat sinis, aneh, sarat akan emosi, dan sikap penolakan atas kaidah-kaidah seni tradisional atau dengan kata lain, mereka menawarkan suatu konsep anti-seni (Hopkins, 2004).

Sejak saat itu, musik tidak lagi hanya tentang komersil, estetika, dan formasi bunyi-bunyian yang harmoni. Tapi juga bertransformasi menjadi media penyaluran ekspresi yang memberikan kritik sosial serta wahana pembentukan budaya perlawanan atas ketidapuasan dari kondsi realitas yang ada.

Di Indonesia sendiri, sejumlah hasil penelitian terkait budaya musik populer, menunjukkan transformasi yang serupa. Kritik terhadap realitas sosial ataupun yang ditujukan kepada pemerintah berhasil diartikulasikan dalam musik dan lirik-lirik yang menohok para pendengarnya. Penelitian berjudul “Bandung Lautan Hardcore: Territorialisation and Deterritorialisation in An Indonesia Hardcore Punk Scene” yang ditulis oleh Martin Iverson (2014) memotret perlawanan dari para pegiat dan penikmat musik Underground di Bandung atas perubahan sistem ekonomi Indonesia yang menjadi liberal di era kepemimpinan Presiden Soeharto.

Dari penelitian Iverson, pembaca akan disuguhkan pada kritik yang diekspresikan mulai dari kemandirian produksi, model distribusi, musik, lirik, hingga gaya berpakaian. Fenomena Undergound di Bandung, menjadi salah satu representasi yang mengajarkan betapa lekatnya musik dan dan budaya perlawanan.

Selain itu, terdapat penelitian yang berjudul “Kririk Sosial dalam Lagu Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks Tahun 1978-1982” karya Putra (2015). Dalam tulisannya, Putra menjelaskan kritik yang dituangkan dalam lirik-lirik lagu grup Pancaran Sinar Petromaks tentang kondisi masyarakat di zaman Orde Baru. Tidak hanya pada ranah politik, grup Pancaran Sinar Petromaks juga mengkritik kehidupan mahasiswa, perkembangan budaya, kesenjangan sosial yang terjadi, serta pembangunan yang tidak merata pada periode itu.

Di era kekinian, kritik dan perlawanan dengan memanfaatkan musik sebagai mediumnya semakin menggurita di Indonesia. Berikut beberapa lagu pilihan dari musisi-musisi dalam negeri yang menjadi rekomendasi untuk kalian dengarkan.

 

1.      Bars of Death – ‘Tak Ada Garuda di Dadaku’

‘Tak Ada Garuda di Dadaku’ adalah salah satu lagu dari album Morbid Funk yang dirilis oleh Bars of Death pada tahun 2020 lalu. Herry Sutresna dan Aszy Syamfizie selaku penulis dan komposernya, meramu literatur bangsa dengan kritik tajam yang seolah-olah mengisyaratkan kepada para pendengar untuk bergerak membangun budaya tempur rakyat. Perspektif yang berbeda dari kombinasi musik rap, beat yang menggugah, serta rima provokatif yang penuh dengan luapan emosi dalam nuansa militeristik akan membuat hati dan kuping para pendengarnya semakin panas.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=ATfWgl4kqfU

2.      Scared of Bums – ‘Kepalkan Tangan Kiri’ Ft. Uncle Bob (Superman Is Dead)

Scared of Bums merupakan band asal Bali yang mengusung genre Metal Melodic Core. Melaui single ‘Kepalkan Tangan Kiri’ yang kemudian masuk ke dalam album Let’s Turn on a Fire, mereka menerjemahkan semangat perlawanan bagi para pejuang dari kelompok tertindas, kaum marjinal, dan orang-orang yang dirampas haknya dalam karya lagu yang berdurasi 5 menit 4 detik itu (Official Video). Mereka menggait Uncle Bob (Vocal/guitar Superman Is Dead) dengan vocal yang khas, menambah kesan heroik yang membuat jiwa para pendengarnya menyala.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=4aHAMYwEP5g

3.      Morgue Vanguard – ‘Kontra Muerta’

Morgue Vanguard adalah project lain yang dikerjakan oleh kang Ucok A.k.a Herry Sutresna. Berbagai project dikerjakannya setelah redupnya Homicide dari belantara musik Underground yang kemudian membuatnya berkolaborasi dengan sejumlah musisi tanah air. Namun, kemunculan Morgue Vanguard kembali membangkitkan libido perang bagi para combatan yang rindu akan rima perlawanan sebagaimana yang disuguhkan kang Ucok saat berada di Homicide. Rilis tahun 2019, ‘Kontra Muerta’ menjadi single dengan flow yang segar akan membuat para pendengarnya merasa beruntung pernah mendengar karya segila itu.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=-rsDaH9FOi8

4.      Efek Rumah Kaca – ‘Efek Rumah Kaca’

Karya selanjutnya datang dari sekumpulan bapak-bapak keren yang tergabung dalam grup band Efek Rumah Kaca. Bagi mereka yang terbiasa dengan playlist musik indie, pasti menjadikan grup band satu ini sebagai salah satu kiblat musik.  Nama band yang sama, dari album dan judul yang sama, memberikan dimensi yang berbeda dari lagu yang diberi judul ‘Efek Rumah Kaca’. Sebagaimana efek rumah kaca diketahui adalah isu lingkungan yang mengancam keberadaan manusia dan telah menjadi masalah bersama ditingkat global, lagu ‘Efek Rumah Kaca’ menjadi kritik terkait cara manusia memperlakukan alam. Pesan itu disampaikan dari pemilihan diksi disetiap liriknya yang akan mengantarkan para pendengar pada level kesadaran yang berbeda tentang lingkungan dan alam semesta.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=bpTYx2m2sjs

5.      Thufail Al Ghifari – ‘Democrazy’

Al Ghifari adalah salah satu musisi rap underrated di Indonesia. Karya-karyanya tersegmentasi hanya dibeberapa kalangan. Hal itu bisa jadi karena rima dari setiap karyanya yang memberikan kesan religiusitas yang keras dari ajaran agama tertentu. Sehingga, tidak mudah untuk dinikmati ditemapat-tempat umum. Tapi terlepas dari semua itu, melalui lagu yang berjudul ‘Democrazy’, Al Ghifari menyalurkan kejengkelannya dalam ambience hip-hop yang kental dengan lirik cepat, padat, dan berat. Pendengarnya dapat membayangkan bagaimana Al Ghifari sedang mengejek penguasa, para elit politik, ekonomi, dan korporasi dari level nasional hingga internasional di lagu tersebut.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=C6SXDv0kwt4

  

Referensi

Hopkins, D. (2004). Dada and Surrealism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press Inc.

Martin-Iverson, S. (2014). Bandung Lautan Hardcore: Territorialisation and Deterritorialisation in An Indonesian Hardcore Punk Scene. Inter-Asia Cultural Studies.

Putra, R. P. (2015). Kritik Sosial Dalam Lagu 52 UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Utomo, Musik Noise: Sebuah Seni, Ekspresi, dan Perlawanan Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks Tahun 1978-1982. Avatara : E-Journal Pendidikan Sejarah

0 komentar:

Posting Komentar