Selasa, 26 Maret 2024

Buka Suara; Mengintip Pergerakan Skena Musik di Pinrang 3 Tahun Terakhir

 


Diawali tahun 2019, geliat pergerakan musik di Kabupaten Pinrang bisa dibilang cuku bervariasi. Banyak panggung-panggung musik diinisiasi oleh pemilik kafe, pejabat poltik dan acara nikahan.

Salah satu panggung musik besar yang tertangkap radar penulis justru lahir dari panggung hiburan acara nikahan. Tepatnya di daerah Langnga dan Benrange. Dua acara pernikahan yang membawa nama Kota Pinrang tersebar ke media lokal hingga nasional sebagai acara dengan mahar dan panggung musik termegah dalam dua hingga tiga tahun terakhir di Kota Pinrang. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari lima musisi nasional turut diundang untuk meramaikan line up panggung hiburan.

Ratusan bahkan ribuan masyarakat datang ke panggung musik yang dibuka gratis untuk umum ini. Sebuah bukti adanya kerinduan masyarakat terhadap event-event musik yang sudah mati suri beberapa tahun belakangan.

Di tahun 2020 hingga 2021, sama dengan daerah lain panggung-panggung musik di Pinrang juga mati karena pandemi. Tapi musik lokal justru lebih kuat bergerilya di ranah daring. Berbagai nama-nama musisi Pinrang yang bermain di segmen lagu bugis, mulai muncul ke permukan.

Salah satu musisi lokal Pinrang yang lagu-lagunya cukup meledak adalah Yukii Vi. Single pertamanya yang mulai terkenal berjudul "Tannia Peddi Cedde". Hingga tulisan ini dirilis, single Yukii Vi yang paling banyak ditonton berjudul "Iyya Mattaro Ada, Nataue Mewa Mappattuada" sudah mencapai angka 5.5 juta views

Di tahun 2022, keresahan mulai terdengar datang dari sekelompok anak muda yang hobi beradu mimpi di warung kopi. Melalui obrolan-obrolan yang semakin menggelisahkan, didukung oleh keresahan yang sama terhadap skena musik di kota ini yang itu-itu saja, lahirlah panggung Bara Membara

Memanfaatkan momentum yang tepat. Bara Membara memulai manuver dengan mengambil kesempatan menjadi titik tur pertama Buka Jalur yang di isi oleh band-band rock metal ternama Makassar; Frontside, Phinisi Kindom, dan Rising Road. Selain itu Buka Jalur juga di lengkapi oleh group pemandu karaoke Liburan Hiburan serta ada juga local heroes seperti Voldemort dan Ubur-ubur.

Diluar ekspektasi, panggung kecil yang lahir dengan modal nyali dan relasi itu justru disambut oleh banyak anak muda di Kota Pinrang. Buka Jalur, diwarnai oleh sekelompok penikmat musik yang memiliki kerinduan sama terhadap panggung musik yang lahir secara organik di tangan anak-anak muda. Hasilnya adalah sebuah hentakan yang tersebar dalam radius dan frekuensi yang cukup masif. Buka Jalur juga menjadi event yang memantik kepercayaan diri anak muda lain untuk mulai segera bergerak.

Melihat tidak adanya media yang berfokus mengarsipkan catatan pergerakan musik dan anak muda di Kota Pinrang, Pinrang Indie lahir.

Dalam semesta dan kota yang sama di tahun 2022, Pinrang Indie mulai melahirkan berbagai program dengan tujuan memantik anak-anak muda di Kota Pinrang untuk ikut berkolaborasi menggerakkan roda skena musik di Kabupaten Pinrang.

Berbagai interaksi dan obrolan dilakukan untuk memetakan bagaimana kondisi skena sesungguhnya. Pinrang Indie memulai gerakan melalui konten-konten informatif baik di Instagram maupun website.

Di awal 2023, Pinrang Indie mulai percaya diri untuk membuat panggung intimate yang bertujuan untuk mempertemukan pencipta lagu dengan pendengarnya. Dari sana lahir panggung Indiemates

Selama tulisan ini dirilis, Pinrang Indie sudah cukup sukses menjalankan 11 edisi Indiemates di tiga tempat berbeda. Dengan mengundang berbagai talent, baik dari Pinrang maupun luar kota Pinrang, salah satunya adalah Ikram Cakap dan Kawan Pencerita.

Per hari ini, segala daya dan upaya masih terus dilakukan anak-anak muda di Kota Pinrang untuk menggerakkan kembali roda skena yang dulu sempat menggeliat di awal tahun 2010. Tahun di mana era festival band-band Emo, Reggae dan Metal berjamur di stadion maupun gor olahraga di Kabupaten Pinrang.

Berbagai pertanyaan mengenai 'Kapan terakhir festival musik anak muda di Pinrang diadakan?' masih belum menemukan jawabannya. Berbagai obrolan warung kopi yang penulis singgahi untuk mencari informasi hanya menyisakan kerinduan di masa awal tahun 2010.


Penulis : Reyhan Ismail (Personil Suaraya, Penggerak Komunitas Pinrang Indie)


Minggu, 24 Maret 2024

Buka Suara; Dunia Musisi yang Tidak Melulu Soal ‘Fame’

 

Musisi yang berkecimpung pada industri musik, mungkin saja diantaranya akan sepakat bahwa dunia yang sedang mereka geluti, tidak selalu berbicara pada soal ‘Fame’ atau popularitas semata. Argumen ini tentu masih sangat terbuka untuk didebat, karena setiap pendapat mempunyai latar belakang pemikiran dan orientasi yang berbeda. Namun, baru-baru ini, kita diperlihatkan sisi lain dari para pelaku musik atas sikap mereka pada fenomena pembantaian rakyat yang terjadi di Palestina oleh pemerintah Israel.

Dalam ajang musik South by Southwest Music Festival (SXSW) yang digelar di Austin, Amerika Serikat tahun ini, sejumlah musisi memilih untuk mundur dan tidak tampil dalam festival bergengsi tersebut. Hal itu disebabkan oleh informasi yang beredar belakangan ini tentang SXSW yang menjalin hubungan dengan sponsor yang diduga menjadi produsen dan pemasok senjata pemerintah Israel untuk melakukan penyerangan di Palestina.

Dilansir dari unggahan video akun Instagram hai_online, terdapat sekitar 80 artis yang telah mengundurkan diri dari SXSW untuk mendukung dan menunjukkan solidaritas mereka kepada rakyat Palestina. Salah satu diantara mereka adalah Reality Club yang merupakan band asal jakarta, Indonesia. Reality Club, mulanya dijadwalkan tampil pada segmen FRIENDS:FOREVER, acara musik Asia terbesar yang masih rangkaian dari festival SXSW di tanggal 14 dan 15 Maret 2024.

Mundurnya Reality Club dari line up SXSW kemudian disampaikan sehari sebelum penampilan mereka melalui pengumunan di akun Instagram mereka. “Mengetahui bahwa Angkatan Darat AS menjadi sponsor utama SXSW, serta keterlibatan kontraktor pertahanan [RTX] yang memproduksi dan memasok senjata yang dipakai untuk menyerang warga Palestina, kami memutuskan untuk menarik diri dari penampilan di SXSW”, demikian pengumuman yang mereka sampaikan di akun Instagram @realityclub. Lebih jauh lagi, mereka menegaskan bahwa “Dengan mengikuti hati nurani, kami tak bisa bermain dalam pertunjukkan SXSW di Austin pada 14 dan 15 Maret 2024. Kami menolak untuk dikaitkan dengan organisasi yang terlibat dalam genosida di Palestina”. 

Interprestasi kita terkait sikap yang ditunjukkan oleh Reality Club dan artis lainnya yang mundur dari SXSW, melibatkan dimensi kesadaran yang berbeda dari kepribadian para musisi. Konstruksi ‘Fame’ yang datang dari industri dan pengapnya kalkulasi profit, dimuntahkan oleh posisi moral para pelaku musik. Tidak hanya dari dunia musisi, di tahun 2023 lalu, kejadian serupa yang melibatkan serangan Israel di Palestina juga pernah terseret dalam ajang Frankfurt Book Fair (FBF) yang merupakan pameran perdagangan buku internasional tertua dan terbesar di dunia. Berawal dari pernyataan dukungan Frakfuter Buchmesse terhadap pendudukan Israel di wilayah Palestina, gelombang protes dan seruan boikot terus berseliweran di media sosial.

Sejumlah penulis dan asosiasi penerbit dari seluruh dunia, menyampaikan kekecewaanya dan menolak untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Di Indonesia sendiri, novelist sekaliber Okky Madasari, terang-terangan menyampaikan kekecawaan dan seruan untuk memboikot FBF dalam unggahan video di akun Instagramnya @okkymadasari. 

Dari kejadian itu, kita cukup paham, bahwa betapa dilematisnya untuk bisa mengambil keputusan sebesar itu dan tentu tidaklah mudah, mengingat popularitas adalah konsekuensi organik dari kemampuan kreatifitas seseorang dalam berkesenian. Dari situlah karya-karya seni yang ditawarkan menemui pengakuan yang kemudian mengantarkannya pada hal-hal yang sifatnya komersil.

Namun, mereka lebih memilih untuk melakukan solidaritas yang level kemanusiaanya bahkan melintasi batas teritorial negara. Tentu kita bangga dan patut diapresiasi, melihat Reality Club beberapa waktu lalu menjadi salah satu representasi moral dan kemanusiaan dunia. Namun sebagai bahan kontemplasi, ada baiknya mempertanyakan pada diri sendiri tentang seberapa siapkah kita jika diperhadapkan pada kondisi yang serupa? Kondisi dimana moral dan kemanusiaan anda dipertentangkan dengan popularitas yang sedang anda nikmati atau sedang anda kejar.

Penulis : Rahmat Sikky (Mahasiswa S2 Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Airlangga)

Jumat, 15 Maret 2024

Buka Suara; Musik dan Pembentukan Budaya Perlawanan

 

Pinrang Indie

Sebagai seni dan media ekspresi, perkembangan musik menemui berbagai macam aliran atau genre. Salah satunya adalah musik Noise yang mulai berkembang sejak periode awal tahun 1900-an. Berdasarkan kamus Oxford, kata ‘Noise’ didefenisikan sebagai bunyi yang bervolume tinggi sehingga membuat orang yang mendengarkannya menjadi tidak nyaman. Dari pengertian itu, kita dapat membayangkan eksperimen permainan musik Noise yang ‘ugal-ugalan’ dengan frekuensi bunyi-bunyian bising sesuai dengan keinginan dari pemusiknya.

Melalui tulisan The Art of Noise, Luigi Russolo memperkenalkan ide Noise pada tahun 1913 kepada Francesco Balilla Pratella yang merupakan seorang musikolog asal Italia. Dalam perkembangannya, tulisan Russolo kemudian memberikan pandangan yang berbeda tentang penciptaan musik dan cara pengekspresiannya yang sesuai dengan kondisi realitas.

Kelahiran musik Noise juga tidak terlepas dari gerakan kelompok-kelompok seniman yang tidak puas atas perubahan kondisi yang diakibatkan oleh Perang Dunia. Diantaranya, gerakan dari aliran seni Dada yang menilai bahwa kondisi sosial dan politik, tidak dapat dipisahkan dari aktivitas seni. Oleh karena itu, karya seni yang ditawarkan aliran Dadaisme cenderung bersifat sinis, aneh, sarat akan emosi, dan sikap penolakan atas kaidah-kaidah seni tradisional atau dengan kata lain, mereka menawarkan suatu konsep anti-seni (Hopkins, 2004).

Sejak saat itu, musik tidak lagi hanya tentang komersil, estetika, dan formasi bunyi-bunyian yang harmoni. Tapi juga bertransformasi menjadi media penyaluran ekspresi yang memberikan kritik sosial serta wahana pembentukan budaya perlawanan atas ketidapuasan dari kondsi realitas yang ada.

Di Indonesia sendiri, sejumlah hasil penelitian terkait budaya musik populer, menunjukkan transformasi yang serupa. Kritik terhadap realitas sosial ataupun yang ditujukan kepada pemerintah berhasil diartikulasikan dalam musik dan lirik-lirik yang menohok para pendengarnya. Penelitian berjudul “Bandung Lautan Hardcore: Territorialisation and Deterritorialisation in An Indonesia Hardcore Punk Scene” yang ditulis oleh Martin Iverson (2014) memotret perlawanan dari para pegiat dan penikmat musik Underground di Bandung atas perubahan sistem ekonomi Indonesia yang menjadi liberal di era kepemimpinan Presiden Soeharto.

Dari penelitian Iverson, pembaca akan disuguhkan pada kritik yang diekspresikan mulai dari kemandirian produksi, model distribusi, musik, lirik, hingga gaya berpakaian. Fenomena Undergound di Bandung, menjadi salah satu representasi yang mengajarkan betapa lekatnya musik dan dan budaya perlawanan.

Selain itu, terdapat penelitian yang berjudul “Kririk Sosial dalam Lagu Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks Tahun 1978-1982” karya Putra (2015). Dalam tulisannya, Putra menjelaskan kritik yang dituangkan dalam lirik-lirik lagu grup Pancaran Sinar Petromaks tentang kondisi masyarakat di zaman Orde Baru. Tidak hanya pada ranah politik, grup Pancaran Sinar Petromaks juga mengkritik kehidupan mahasiswa, perkembangan budaya, kesenjangan sosial yang terjadi, serta pembangunan yang tidak merata pada periode itu.

Di era kekinian, kritik dan perlawanan dengan memanfaatkan musik sebagai mediumnya semakin menggurita di Indonesia. Berikut beberapa lagu pilihan dari musisi-musisi dalam negeri yang menjadi rekomendasi untuk kalian dengarkan.

 

1.      Bars of Death – ‘Tak Ada Garuda di Dadaku’

‘Tak Ada Garuda di Dadaku’ adalah salah satu lagu dari album Morbid Funk yang dirilis oleh Bars of Death pada tahun 2020 lalu. Herry Sutresna dan Aszy Syamfizie selaku penulis dan komposernya, meramu literatur bangsa dengan kritik tajam yang seolah-olah mengisyaratkan kepada para pendengar untuk bergerak membangun budaya tempur rakyat. Perspektif yang berbeda dari kombinasi musik rap, beat yang menggugah, serta rima provokatif yang penuh dengan luapan emosi dalam nuansa militeristik akan membuat hati dan kuping para pendengarnya semakin panas.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=ATfWgl4kqfU

2.      Scared of Bums – ‘Kepalkan Tangan Kiri’ Ft. Uncle Bob (Superman Is Dead)

Scared of Bums merupakan band asal Bali yang mengusung genre Metal Melodic Core. Melaui single ‘Kepalkan Tangan Kiri’ yang kemudian masuk ke dalam album Let’s Turn on a Fire, mereka menerjemahkan semangat perlawanan bagi para pejuang dari kelompok tertindas, kaum marjinal, dan orang-orang yang dirampas haknya dalam karya lagu yang berdurasi 5 menit 4 detik itu (Official Video). Mereka menggait Uncle Bob (Vocal/guitar Superman Is Dead) dengan vocal yang khas, menambah kesan heroik yang membuat jiwa para pendengarnya menyala.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=4aHAMYwEP5g

3.      Morgue Vanguard – ‘Kontra Muerta’

Morgue Vanguard adalah project lain yang dikerjakan oleh kang Ucok A.k.a Herry Sutresna. Berbagai project dikerjakannya setelah redupnya Homicide dari belantara musik Underground yang kemudian membuatnya berkolaborasi dengan sejumlah musisi tanah air. Namun, kemunculan Morgue Vanguard kembali membangkitkan libido perang bagi para combatan yang rindu akan rima perlawanan sebagaimana yang disuguhkan kang Ucok saat berada di Homicide. Rilis tahun 2019, ‘Kontra Muerta’ menjadi single dengan flow yang segar akan membuat para pendengarnya merasa beruntung pernah mendengar karya segila itu.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=-rsDaH9FOi8

4.      Efek Rumah Kaca – ‘Efek Rumah Kaca’

Karya selanjutnya datang dari sekumpulan bapak-bapak keren yang tergabung dalam grup band Efek Rumah Kaca. Bagi mereka yang terbiasa dengan playlist musik indie, pasti menjadikan grup band satu ini sebagai salah satu kiblat musik.  Nama band yang sama, dari album dan judul yang sama, memberikan dimensi yang berbeda dari lagu yang diberi judul ‘Efek Rumah Kaca’. Sebagaimana efek rumah kaca diketahui adalah isu lingkungan yang mengancam keberadaan manusia dan telah menjadi masalah bersama ditingkat global, lagu ‘Efek Rumah Kaca’ menjadi kritik terkait cara manusia memperlakukan alam. Pesan itu disampaikan dari pemilihan diksi disetiap liriknya yang akan mengantarkan para pendengar pada level kesadaran yang berbeda tentang lingkungan dan alam semesta.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=bpTYx2m2sjs

5.      Thufail Al Ghifari – ‘Democrazy’

Al Ghifari adalah salah satu musisi rap underrated di Indonesia. Karya-karyanya tersegmentasi hanya dibeberapa kalangan. Hal itu bisa jadi karena rima dari setiap karyanya yang memberikan kesan religiusitas yang keras dari ajaran agama tertentu. Sehingga, tidak mudah untuk dinikmati ditemapat-tempat umum. Tapi terlepas dari semua itu, melalui lagu yang berjudul ‘Democrazy’, Al Ghifari menyalurkan kejengkelannya dalam ambience hip-hop yang kental dengan lirik cepat, padat, dan berat. Pendengarnya dapat membayangkan bagaimana Al Ghifari sedang mengejek penguasa, para elit politik, ekonomi, dan korporasi dari level nasional hingga internasional di lagu tersebut.

Link: https://www.youtube.com/watch?v=C6SXDv0kwt4

  

Referensi

Hopkins, D. (2004). Dada and Surrealism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press Inc.

Martin-Iverson, S. (2014). Bandung Lautan Hardcore: Territorialisation and Deterritorialisation in An Indonesian Hardcore Punk Scene. Inter-Asia Cultural Studies.

Putra, R. P. (2015). Kritik Sosial Dalam Lagu 52 UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Utomo, Musik Noise: Sebuah Seni, Ekspresi, dan Perlawanan Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks Tahun 1978-1982. Avatara : E-Journal Pendidikan Sejarah